RESUME
A. Perkembangan
Hukum Lingkungan dalam Lintasan Sejarah Hukum Internasional
Hukum
lingkungan internasional berkembang terutama sejak tahun 1945 (Perang Dunia II)
saat terjadi berbagai peristiwa penting. Pada tahun ini persepsi manusia
terhadap lingkungan dan new order of
hazard affairs berkembang (environmental hazards). Berbagai referensi
tentang bahaya pada lingkungan (environmental hazards) ini antara lain dalam
Silent Spring, akibat kimia pertanian (overuse of misuse). Oil Spills yang
kemudian menjadi public awaranes tahun 1960-an. Pengendalian bahaya pada
lingkungan oleh senjata berbahaya (dangerous weapons), mass-destruction yang
dianggap potensial bagi eccocidal. Berbagai arm-control yang dilakukan sejak
tahun 1945 merupakan kontribusi pada pelestarian lingkungan, yang terpenting
adalah perjanjian nuklir pada tahun 1968, seperti Treaty on the
Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) yang berlaku tahun 1970.
Pengaturan
Industrial Discharge and Waste Disposal, terutama setelah perang Dunia II dan
menjelang konferensi LHM di Stockholm pada tahun 1972. Kita kenal acid rain,
silent spring oleh rachel, dan lain sebagainya. Klimaks pembentukan Hukum
Lingkungan Internasional yang bersifat menyeluruh dan mendasar terjadi di
Stockholm pada tahun 1972. Perlindungan dan pelestarian Lingkungan (protection
and conservation of the marine envoronment) (1945-1972). Perkembangan ini
meliputi :
a.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan ilmu (iptek),
b. Gerakan kesadaran baru, sikap dan
persepsi baru dan lahirnya konsep-konsep baru (1967-1972),
c.
Pengaruh
ilmu lingkungan, ekologi, polusi, baku mutu, dan sebagainya (lahirnya
environmentalists),
d. Perkembangan konvensi-konvensi IMCO,
seperti konsep protected zone, dan sebagainya,
e. Pendekatan baru menjelang konferensi
stockholm dan pengaruh sesudahnya,
f.
Perkembangan
konsep konservasi yang makin ekologis,
g. Pergeseran dari konsep-konsep
peraturan dari pendekatan remedy ke preventive, pengaruh deklarasi stockholm
pada ICLOS-1082.
Untuk
membahas sistem lingkungan internasional ini menurut Golide dapat dikaji dalam
kerangka hukum internasional berdasrkan : 1. Customary international law (CIL);
dan 2. Conventional international law.
1. Dalam
kerangka customary international (CIL)
Customary
international law (CIL) baru muncul sebagai kaidah perlindungan lingkungan pada
akhir abad XIX. Kemudian diikuti dengan doktrin “state responbility” yang
merupakan penerapan secara modern atas konsep tanggung jawab negara (state
liability) akibat kerusakan lingkungan pada negara lain. Menjelang tahun 1930,
formulasi doktrin international delinquency, oleh lauterpacht ditekankan pada
scope international legal dutiesfalling upom sovereign states. Dalam pengertian
ini state responbility dirumuskan sebagai masy become involved as the result of
an abuse of a right enjoyed by virtue of international law.
Larangan
terhadap abuse of rights didasarkan pada old maxim: sic utere tuo ut alienum
non laedas telah dikembangkan melalui pengadilan (judicial development). Karena
prinsip ini diterapkan pada sungai internasional dan danau the abuse of right
principle di sini sering disebut sebagai the principle of neighbourliess dan
mendapatkan dukungan ari kasus pencemaran udara Trail Smelter 1941. Penerapan
secara lebih luas atas prinsip sic utere pada curfu channel case, 1949 yang
mengatakan antara lain every state’s obligation not to allow knowlingly its territory
to be used for acts contrary to the rights of other states. Dari ketiga kasus
di atas memberikan evolusi penggunaan prinsip strict liabilty pada hukum
lingkungan internasional.
2. Dalam
kerangka konvensi internasional (conventional international law)
a. Lingkungan
umum
1) Konferensi Stockholm, 1972
Konferensi internasional lingkungan
hidup atau United Nations Conference on Human Environment (UNCHE), di
Stockholm, Swedia adalah konferensi yang sangat bersejarah, karena merupakan
konferensi pertama tentang lingkungan hidup yang diprakarsai oleh PBB yang
diikuti oleh wakil dari 114 negara. Konferensi ini juga merupakan penentu
langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global. Dalam
konferensi Stockholm inilah untuk pertama kali moto “ Hanya ada satu bumi “
(Only one Earth) untuk semua manusia, diperkenalkan. Motto itu sekaligus
menjadi motto konferensi. Selain itu, konferensi Stockholm menetapkan tanggal 5
Juni yang juga hari pembukaan konferensi tersebut sebagai hari lingkungan hidup
se-dunia (World environment day).
Ø
kesepakatan mengenai keterkaitan antara konsep pembangunan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Persoalan lingkungan hidup diidentikkan dengan kemiskinan,
keterbelakangan, tingkat pembangunan yang masih rendah dan pendidikan rendah,
intinya faktor kemiskinan yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan
hidup didunia. Sehingga dalam forum tersebut disepakati suatu persepsi bahwa
kebijakan lingkungan hidup harus terkait dengan kebijakan pembangunan nasional.
Ø
menghasilkan resolusi monumental, yaitu pembentukan badan khusus PBB untuk
masalah lingkungan United Nations Environmental Programme (UNEP), yang markas
besarnya ditetapkan di Nairobi, Kenya. UNEP
merupakan motor pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup dan telah
melahirkan gagasan besar pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development).
Gagasan pembangunan berkelanjutan diawali dengan terbitnya Laporan Brundtland
(1987), “Our Common Future”, yang memformulasikan prinsip dasar pembangunan
berkelanjutan.
Ø
rekomendasi Konferensi
Stockholm Nomor 99.3. ditindaklanjuti dengan melaksanakan Convention on
International Trade in Endangered Species (CITES) atau Konvensi PBB mengenai
perdagangan Internasional Jenis-Jenis Flora dan Fauna Terancam Punah. Misi dan
tujuan CITES adalah untuk menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari
kepunahan di alam melalui sistem pengendalian jenis-jenis tumbuhan dan satwa,
serta produk-produknya secara internasional.
Ø
dalam
dokumen konfrensi Stockholm “The Control of Industrial Pollution and
International Trade” secara langsung mendorong GATT untuk meninjau kembali
kebijakannya agar tidak menimbulkan diskriminasi terhadap Negara berkembang.
2) konferensi nairobi dan WCED, 1982
pertemuan ini merupakan pertemuan
wakil-wakil pemerintah dalam government council UNEP. Pertemuan tersebut
mengusulkan pembentukan suatu komisi yang bertujuan melakukan kajian tentang
arah pembangunan di dunia. Usul yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di
Nairobi ini dibawa kesidang umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED
(world commission on Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem
Brundtland. Komisi ini yang menghasilkan dokumen “our common future” pada tahun
1987, yang memuat analisis dan saran bagi proses pembangunan berkelanjutan.
Dalam dokumen itu diperkenalkan suatu konsep baru yang disebut konsep
pembangunan berkelanjutan.
3) Rio de
Janeiro, Brazil ( Juni 1992)
Sejak Konferensi Stockholm,
polarisasi di antara kaum developmentalist dan environmentalist semakin
menajam. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro,
Brazil, pada 1992, merupakan upaya global untuk mengkompromikan
kepentingan pembangunan dan lingkungan. Jargon “Think globally, act locally”,
yang menjadi tema KTT Bumi menjadi populer untuk mengekspresikan kehendak
berlaku ramah terhadap lingkungan. Topik yang diangkat dalam konperensi
ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan ozon, penggunaan dan
pengelolaan sumber daya laut dan air, meluasnya penggundulan hutan, penggurunan
dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta penipisan keanekaragaman
hayati.
Ø Deklarasi Rio, Satu rangkaian dari 27 prinsip universal yang bisa
membantu mengarahkan tanggung jawab dasar gerakan internasional terhadap
lingkungan dan ekonomi.
Ø Konvensi Perubahan Iklim (
FCCC ). Kesepakatan Hukum yang telah
mengikat telah ditandatangani oleh 152 pemerintah pada saat komperensi
berlangsung. Tujuan pokok Konvensi ini adalah “ Stabilisasi konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfir pada tingkat yang telah mencegah terjadinya intervensi
yang membahayakan oleh manusia terhadap system Iklim”
Ø Konvensi Keanekaragaman
hayati. Kesepakatan hukum yang mengikat
telah ditandatangani sejauh ini oleh 168 negara. Menguraikan langkah –
langkah kedepan dalam pelestarian keragaman hayati dan pemanfaatan
berkelanjutan komponen – komponennya, serta pembagian keuntungan yang adil dan
pantas dari penggunaan sumber daya genetic.
Ø Pernyataan Prinsip – Prinsip
Kehutanan. Prinsip – prinsip yang telah
mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan
melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara
berkelanjutan. Prinsip –
prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai
pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.
Ø Komisi Pembangunan
Berkelanjutan Commission on Sustainable Development (CSD). Komisi ini di bentuk pada bulan desember 1992. Tujuan
CSD adalah untuk memastikan keefektifan tindak lanjut KTT bumi. Mengawasi serta melaporkan pelaksanaan
kesepakatan Konferensi Bumi baik di tingkat lokal , nasional, maupun
internasional. CSD adalah komisi Funsional Dewan Ekonomi dan Sosial PBB
(ECOSOC) yang beranggotakan 53 negara.
Agenda 21, merupakan sebuah program luas mengenai gerakan yang mengupayakan cara –
cara baru dalam berinvestasi di masa depan untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan Global di abad 21. Rekomendasi – rekomendasi Agenda 21 ini
meliputi cara – cara baru dalam mendidik, memelihara sumber daya alam, dan
berpartisipasi untuk merancang sebuah ekonomi yangberkelanjutan. Tujuan
keseluruhan Agenda 21 ini adalah untuk menciptakan keselamatan, keamanan, dan
hidup yang bermartabat.
b. Konservasi
Konsep konservasi didasarkan pada
anggapan atau teori tentang kelangkaan atau keterbatasan kekayaan alam di bumi
(resource scarcity) sehingga perlu penggunaan yang bijaksanan (wise use) atau
anjuran untuk menciptakan teknik pengelolaan yang efisien (techniques of
efficient management). Konsep ini berkembang sesuai dengan tingkat persepsi dan
perkembangan zaman (masyarakat primitif, modern, pertanian, pertanian,
industri, dan sebagainya). Pada dasarnya konsep konservasi terutama ditujukan
pada masalah kelangkaan atau keterbatasan kekayaan alam (scarcity,
exhaustability or depletion). Salah satu bidang ilmu yang berkembang dalam
konsep konservasi ini adalah teori ekonomi, seperti doktrin tentang increasing
natural scarcity. Doktrin ini mengandung keterlibatan ilmu secara inter dan
multi disipliner, meliputi antara lain, filosofi, ekologi, demografi, ilmu
politik, dan ekonomi.
1) World conservation strategy, 1980;
2) Kongres taman nasional dan kawasan lindung sedunia III
di Bali, 1982;
3) Kongres taman nasional dan kawasan lindung sedunia IV
di caracas, 1992;
4) Kongres taman nasional sedunia V di Durban afrika
selatan 2003;
5) Perlindungan binatang liar (wild protection).
c. Kehutanan
1) Kongres kehutanan sedunia VIII di Jakarta, 1978
Kongres bertemakan “forest for
people” yang diselenggarakan pada tanggal 16-28 oktober 1978 di Jakarta ini
dihadiri oleh 102 negara dan 19 organisasi internasional. Dalam kongres ini
ditegaskan bahwa hutan di seluruh dunia harus dibina atas dasar kelestarian,
demi kesejahteraan semua umat manusia. sebuah penryataan politik yang sangat
simpatik, tapi tidak diikuti program aksi yang mengarah pada ikrar kingres
tersebut.
2) Deklarasi Yokohama, 1991
Pada tanggal 22-26 juli 1991, para
rimbawan senior dunia berkumpul di Yokohama, dan menghasilkan Deklarasi kehutanan
Yokohama yang berisi delapan butir. Beberapa isi pokok dalam deklarasi tersebut
antara lain adalah perlunya pengelolaan hutan tropis secara lestari, baik unuk
kepentingan industri perkayuan, pemanfaatan hasil hutan nonkayu, konservasi
keanekaragaman hayati nilai-nilai lingkungan dan kemanusiaan, serta pengakuan
akan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan yang
lestari untuk pembangunan pedesaan.
3) Kongres kehutanan seduna X, Paris, 1991
Pada tahun yang sama diselenggarakan
kongres kehutanan dunia ke – 10 di Paris yang menghasilkan sembilan butir
keputusan, antara lain tentang “penghijauan bumi”, pengendalian gas emisi gas
polutan dan emisi rumah kaca, penegembangan perdagangan sesuai kesepakatan
GATT, kerja sama tingkat politik untuk penanganan hutan dan pengelolaan daerah
aliran sungai utamam, perlunya mobilisasi dana-danan internasional ke
negara-negara berkembang, penguatan penelitian, percobaan lapangan, pelatihan
dan tukar-menukar informasi, serta penguatan koordinasi antar lembaga
internasional.
d. Pencemaran
Pengertian pencemaran di bidang
hukum internasional baru dipersoalkan pada permulaan abad XX. Pembahasan konsep
pencemaran dalam arti sifat, lingkup, dan prinsip-prinsip hukumnya mencakup
aspek-aspek substansial dan prosedurnya. Hal ini dapat kita saksikan, misalnya,
pada pergeseran sifat pengaturan dari tahap sanitary law ke tahap pollution
law. Dalam perkembangan ini terjadi pergeseran dari sifat kaidah hukumnya dari
hukum perdata ke hukum publik disebabkan makin besarnya turut campur tangan
pemerintah (conventional principles of civil law for pollution control),
dualistic structure. Dalam tahap pollution law dilakukan pendekatan mikro, dan
tekanan yang besar pada aspek teknis, lingkungan fisik sehingga pada tahap ini,
pencemaran lingkungan belum dikaji dalam arti yang menyeluruh (sholeness,
comprehensive).
1) Prinsip-prinsip pencemaran lintas batas (transfrontier
pollution)
Beberapa prinsip pencemaran lintas
batas nasional telah dikembangkan untuk memecahkan masalah dampak lingkungan
lintas batas. Prinsip ini pada dasarnya berusaha mencapai keseimbangan (fair
balance) antara hak dan kewajiban antar negara yang terlibat dalam masalah
lingkungan yang bersifat lintas batas nasional.
2) State responbility and Liability
a) State responbility
Pembahasan state responbility dalam
kerangka hukum lingkungan internasional membawa kita pada pembahasan the
principle of national sovereughy dan the freedom of the high seas. Masalah
responbility-liability principle ini seringkali dikatakan dengan legal
strat-egy. Yang dimaksudkan dengan legal strategy di sini ialah dengan
mengembangkan suatu sistem, yaitu upaya to prevent injurious ectivity primary
through regulatory regimes establshing precise standards of permissible
condust.
Masalah pembuktian sebagai bagian
dari liability principle akan dibahas di bagian lain. A remedy bagi suatu kasus
berdasarkan specific regulatory regimea. Specific regulator regime salah satu
persoalan yang dibahas dalam kamus trail smelter untuk menjawab responsibility
and liability. Dalam kasus tersebut badan arbitrase telah menganggap specific
regulatory regime salah satu persoalan yang dibahas dalam kasus trail smelter
untuk menjawab responsibility and liability.
b) Mencari ambang batas (threshold) sebagai ukuran “state
responsibility and liability”
Pada masa yang lalu, pendekatan
hukum terhadap masalah pencemaran dikembangkan melalui konsep hukum nusiance,
yang kriterianya didasarkan pada aspek kesehatan manusia, kesejahteraan
(welfare), hak-hak kebendaan (property rights), dan kepentingan perdagangan
(commercial interests), dengan aspek hukum keperdataan yang sangat menonjol.
Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, masalah pencemaran ini makin rumit dan
makin banyak menyangkut kepentingan umum. dalam tahap ini peranan pemerintah
melalui perundang-undangan makin penting.
Konsep dasar pencemaran di bagi atas
dua pendekatan, yaitu: pertama, pencemaran terjadi pada setiap perubahan
lingkungan tertentu; dan kedua, pencemaran terjadi pada setiap tingkat keadaan
yang dapat memberikan landasan hukum bagi penilaian berdasarkan sifat (nature)
dan tingkat perusakan (degree of injury) yang dapat atau telah menimbulkan
akibat bagi kepentingan tertentu manusia. perubahan di sini adalah ilegal, dan
merupakan pelanggaran atas ketentuan standar yang sudah mengikat.
e. Perubahan
Iklim
1) Protokol Kyoto, 1997
Hal yang mendasari dikeluarkannya
protokol kyoto adalah didirikannya kerangka kerja konvensi perubahan iklim di
New York pada 9 Mei 2001 pada desember 1997, 167 negara dan masyarakat eropa
merupakan para pihak yang membahas perubahan iklim yang diselenggarakan oleh
konvensi.
Konvensi ini memberikan beberapa
konsekuensi terhadap para pihak untuk melakukan:
a. Inventarisasi nasional terhadap emisi gas rumah kaca
antropogenik dan mengubahnya dengan sink-sink;
b. Elaborasi dan mengimplementasikan program-program
nasional dan regional yang menimbang penanggulangan dan penyesuaian terhadap
perubahan iklim;
c. Promosikan pengelolaan berkelanjutan terhadap
sink-sink dan resourver-resourver;
d. Bekerjasama dalam penyiapan untuk adaptasi;
e. Promosi dan kerjasama dalam keterpaduan dalam
menimbang kebijakan-kebijakan iklim ke dalam wilayah-wilayah kebijakan yang
lain serta kerja sama internasional dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan pendidikan.
2) Bali Roadmap, 2007
Konferensi keragka kerja PBB untuk
perubahan iklim (UNFCCC) ke 13 di Nusa Dua, Bali, 3-14 Desember 2007 berakhir
secara dramatis. Setelah berunding selama dua minggu dan molor sehari, para
delegasi dari 190 negara akhirnya menyetujui konsensus untuk menekan laju
perubahan iklim. Keputusan itu diambil setelah secara mengejutkan delegasi
Amerika Serikat menerima konsensus bersama dalam Peta Jalan Bali (Bali
Roadmap). Isi Komitmen dari Bali Roadmap:
a) Memulai pencairan dana adaptasi protokol kyoto
(2008-2012);
b) Menjalankan program strategis untuk memacu investasi
dalam transfer teknologi;
c) Mengadopsi usul reduksi emisi dari mekanisme
pencegahan deforestasi degradasi hutan di negara berkembang (REDD);
d) Menyepakati
data IPCC (Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim) sebagai acuan;
e) Melipatgandakan skala CDM (mekanisme pembangunan
bersih) dari sektor kehutanan;
f) Memasukan teknologi carbon capture and storage le CDM;
g) Menyepakati perluasan kerja kelompok pakar untuk
adaptasi di negara LDC (Least Developed Countries).
B. Mekanisme
Kelembagaan
Masalah lingkungan hidup dan
pengaturan hukumnya memerlukan sistem institusi di bawah sistem PBB (UN
System). Dengan adanya mekanisme institusi ini, tanggung jawab internasional di
bidang lingkungan (antara lain international environmental Acion) dapat
dilaksanakan dengan pendekatan yang menyeluruh dan bersifat lintas fungsi
tradisionalnya. Pengembangan sistem institusi ini harus memperhatikan
tingkat-tingkat dan strukturnya yang bersifat: (i) global; (ii) regional; (iii)
nasional. Dalam sistem ini terdapat organ yang memiliki policy-making dan
kelompok organisasi atau badan khusus PBB yang secara khusus terlibat dalam
program dan kegiatan lingkungan, seperti: MO, WHO, FAO, LO, dan IMCO.
C. Aspek-aspek
Hukum Dampak Lingkungan Lintas Batas Nasional (Transnasional) dalam
Perundang-undangan Indonesia
Eksplorasi dan eksploitasi mineral,
khususnya migas di perairan Indonesia merupakan perkembangan baru dalam hukum
laut Indonesia. Kegiatan ini juga meliputi daerah-daerah laut yang terletak di
luar wilayah negara kita. Hal ini terjadi menjelang akhir tahun 1969, pada saat
perjanjian bilateral tentang landas kontinen diadakan antara Indonesia dengan
negara-negara tetangga. Tahap lanjut dari perkembangan ini ialah dengan
ditetapkannya UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen dengan ketentuan
pelaksanaannya.
Namun demikian, perkembangan hukum
lingkungan Indonesia yang bersifat menyeluruh barulah terjadi setelah peristiwa
kandasanya kapal tangki minyak Showa Maru di Selat Malaka/Singapura pada tahun
1975. Sebagaimana diketahui bahwa peristiwa ini telah mendorong terbentuknya
Rancangan Undang-undang Lingkungan Hidup Indonesia pada tahun 1976. Dengan
terbentuknya Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
(sekarang Menteri KLH), gerakan kesadara lingkungan dan upaya menyusun
Rancangan Undang-undang Lingkungan Hidup oleh Kantor ini terbentuk tahun 1979.
Rancangan UULH ini kemudian dikenal sebagai UU No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketenuan Pokok Lingkungan Hidup.
The Star Grand at The Star Gold Coast - JT Hub
BalasHapusThe Star Grand at The Star Gold Coast is one 김제 출장샵 of 상주 출장샵 Australia's most 제천 출장마사지 iconic 군포 출장안마 destinations and entertainment destinations. Guests will 예스 벳 find its award-winning