RESUME
BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAN BAKU MUTU AIR LAUT
1.
Pencemaran
Udara
a.
Pengertian
tentang Pencemaran Udara
Pencemaran
udara dianggap sebagai terdapatnya gas, cair atau zat yang terkandung di udara
sehingga berlakunya perubahan pada kehidupan mahluk hidup dengan bahan-bahan tersebut.
Bahan-bahan pencemar yang terdapat di udara memberi kesan negatif kepada
manusia, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Hal ini disebabkan bahan-bahan ini akan
masuk ke tubuh manusia melalui pernafasan dan berupaya menghambat aliran
oksigen ke dalam saluran darah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit
seperti penyakit kekejangan, asma, dan anemia.
Daerah
perkotaan merupakan salah satu sumber pencemaran. Kegiatan perkotaan meliputi
kegiatan sektor-sektor pemukiman, transportasi, komersial, industri,
pengelolaan limbah padat, dan sektor penunjang lainnya, merupakan kegiatan yang
potensial dalam merubah kualitas udara perkotaan. Pembangunan fisik kota dan
berdirinya pusat-pusat industri disertai dengan melonjaknya produksi kendaraan
bermotor, mengakibatkan peningkatan kepadatan lalu lintas dan hasil produksi
sampingan, yang merupakan salah satu sumber pencemaran.
Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 ayat 14 bahwa Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan
hidup yang telah ditetapkan. Secara
khusus Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa
pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara
ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak
dapat memenuhi fungsinya. Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 1 ayat (4) bahwa,
udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah
yuridiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan
manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.
Pencemaran
udara dapat didefinisikan sebagai hadirnya substansi di udara dalam konsentrasi
yang cukup untuk menyebabkan gangguan pada manusia, hewan, dan tumbuhan.
Substansi ini bisa berupa gas, cair maupun partikel padat seperti debu.
Daerah
perkotaan merupakan salah satu sumber pencemaran udara utama, yang sangat besar
peranannya dalam masalah pencemaran udara. Kegiatan perkotaan yang meliputi
kegiatan sektor-sektor permukiman, transportasi, komersial, industri,
pengelolaan limbah padat, dan sektor penunjang lainnya merupakan kegiatan yang
potensial dalam merubah kualitas udara perkotaan. Pembangunan fisik kota dan
berdirinya pusat-pusat industri disertai dengan melonjaknya produksi kendaraan
bermotor, mengakibatkan peningkatan kepadatan lalu lintas dan hasil produksi
sampingan, yang merupakan salah satu sumber pencemar udara. World Health Organization (WHO) menetapkan
empat (4) tingkatan pencemaran sebagai berikut:
1) Pencemaran
tingkat pertama, yaitu pencemaran yang tidak menimbulkan kerugian bagi manusia;
2) Pencemaran
tingkat kedua, yaitu pencemaran yang mulai menimbulkan kerugian bagi manusia
seperti terjadinya iritasi pada indra kita;
3) Pencemaran
tingkat ketiga, yaitu pencemaran yang sudah dapat bereaksi pada faal tubuh dan menyebabkan terjadinya
penyakit yang kronis; dan
4) Pencemaran
tingkat keempat, yaitu pencemaran yang telah menimbulkan sakit akut dan
kematian bagi manusia maupun hewan dan tumbuh-tumbuhan.
b.
Faktor
terjadinya Pencemaran Udara.
Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran udara Pasal 1
ayat (3) menyebutkan bahwa, sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau
kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Menurut Umar (2001:29), faktor-faktor
yang mempengaruhi konsentrasi pencemaran yang diakibatkan oleh kendaraan
bermotor antara lain adalah:
a. Kendaraan
bermotor itu sendiri;
b. Kemacetan
lalu lintas, sehingga pada daerah tertentu terjadi akumulasi polutan yang
tinggi;
c. Pengemudi
yang tidak mengemudikan kendaraan dengan benar dan baik serta perawatan yang
tidak baik dari mesin kendaraan itu sendiri; dan
a. Kondisi
lingkungan geografis yang relatif tertutup, sehingga menyulitkan pergerakan
bebas udara yang telah terpolusi.
Disamping
faktor-faktor yang menentukan intensitas emisi pencemar tersebut, faktor
penting lainnya adalah potensi dispersi atmosfer
daerah perkotaan, yang akan sangat tergantung kepada kondisi dan perilaku
meteorologi.
Untuk mengatasi masalah pencemaran ini
telah banyak peraturan yang dikeluarkan pemerintah yang dapat dijadikan
landasan dalam melaksanakan kebijakan penanggulangan pencemaran udara khususnya
dari sektor transportasi. Mulai dari tahun 1993 hingga sekarang peraturan
peraturan yang berhubungan tersebut antara lain:
1)
Undang-Undang Nomor.22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
2)
Undang-undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3)
PP Nomor 44 tahun 1993
tentang Kendaraan dan Pengemudi;
4)
Kep-35/MENLH/10/1993
tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor;
5)
Kep-15/MENLH/4/1996
tentang Program Langit Biru;
6)
Kep-45/MENLH/1997
tentang Indeks Standar Pencemaran Udara; dan
7)
Kep-141/MENLH/2003
tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe baru dan Kendaraan
Bermotor yang sedang diproduksi.
Peraturan-peraturan tersebut dapat dijadikan dasar pemerintah
kota khususnya kota Samarinda dalam menentukan dan menerapkan
kebijakan-kebijakan, terutama dalam hal penanggulangan pencemaran udara dari
sektor transportasi, dan sampai saat ini banyak kebijakan dibuat dan
dilaksanakan dalam rangka penanggulangan pencemaran udara dari sektor
transportasi tersebut, namun sejauh ini hasilnya belum memuaskan.
c.
Baku
Mutu Udara
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Pengendalian Pencemaran Udara pasal 1 ayat 13 menyebutkan bahwa, baku
mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Baku mutu kualitas udara
lingkungan/ambien ditetapkan untuk pencemaran yaitu: O3 (ozon), CO (karbon monoksida),
NOX (nitrogen oksida), SO2 (sulfur oksida), hidrokarbon non-metana,
dan partikulat. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara, pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa, udara ambien adalah udara bebas dipermukaan
bumi pada lapisan troposfir yang
berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan
mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup
lainnya. Selanjutnya ayat (5) menyebutkan mutu udara ambien adalah kadar zat, energi,
dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas.
Perlindungan mutu udara ambien
didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu
emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas
kebisingan dan indeks standar pencemar udara. Penetapan baku mutu udara telah
dirinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara, pasal 4 ayat (1) bahwa, baku mutu udara ambien nasional
ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk mencegah terjadinya
pencemaran udara, sebagaimana terlampir dalam peraturan pemerintah ini.
Sedangkan ketetapan baku mutu udara daerah lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal
5 yaitu sebagai berikut:
1. Baku mutu udara ambien daerah
ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara ambien di daerah yang
bersangkutan;
2. Gubernur menetapkan baku mutu udara
ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan baku mutu udara
ambien nasional;
3. Baku mutu udara ambien daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau
lebih ketat dari baku mutu udara ambien nasional;
4. Apabila gubernur belum menetapkan
baku mutu udara ambien daerah, maka berlaku baku mutu udara ambien nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
5. Baku mutu udara ambien daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima)
tahun; dan
6. Kepala instansi yang bertanggung
jawab menetapkan pedoman teknis penetapan baku mutu udara ambien daerah.
Sehubungan belum adanya ketetapan baku mutu udara di
wilayah Kota Samarinda maka, ketetapan yang berlaku adalah baku mutu udara ambien nasional
sebagaimana dijelaskan tersebut di atas. Menurut Agus Dharma kandungan baku
mutu udara ambien terdiri dari beberapa jenis yaitu”
1. Sulfur dioksida (SO2)
karakteristik bau yang tajam dan tidak mudah terbakar diudara menyebabkan
iritasi pada tenggorokan, kadar sulfur
dioksida yang tinggi di udara telah diketahui dapat mengakibatkan kerusakan
bangunan;
2. Karbon monoksida (CO)
adalah gas
yang tak berwarna, tak berbau, dan tak berasa, bersifat racun
sehingga dapat mengakibatkan keracunan pada sistem saraf
pusat dan jantung;
3. Oksida Nitrogen (NOx)
berwarna dan berbau warna gas NOx adalah merah kecoklatan dan berbau
tajam menyengat hidung.
5. Hidrogen sulfide (H2S) adalah
gas
yang tidak berwarna, beracun, mudah terbakar dan berbau seperti telur busuk;
7. Amoniak (NH3).
berupa gas
dengan bau tajam yang khas dapat menyebabkan kerusakan paru-paru
dan bahkan kematian;
8. Timah hitam/timbale (Pb) apabila timbal terhirup atau tertelan oleh manusia dan di
dalam tubuh, ia akan beredar mengikuti aliran darah, diserap kembali di dalam
ginjal dan otak, dan disimpan di dalam tulang dan gigi. Manusia menyerap timbal
melalui udara, debu, air dan makanan; dan
9. Debu merupakan partikel
halus di udara dengan beragam ukuran dan kandungan zat kimia, dapat mengganggu
kesehatan manusia dan jarak pandang serta menimbulkan kerusakan materi.
Kandungan
tersebut merupakan polutan yang bersumber dari antropogenik yang dapat mencemarkan udara. seperti
halnya juga mengakibatkan gangguan pada kesehatan, juga kerusakan pada
lingkungan
d.
Kewenangan
dan tanggung jawab dalam Pencemaran Udara
Dalam
hal ini kewenangan dan pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Gubernur,/Bupati,/Walikota,
Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan terhadap penaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang emisi dan/atau gangguan.
Untuk melakukan pengawasan dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan
pengawasan dalam pencemaran udara. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 45 dan 46
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Pemerintah
yang bersangkutan tersebut dalam melaksanakan tugasnya, sebagai pengawas
berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari
dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu,
mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi, memeriksa peralatan,
memeriksa instalasi serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab
atas usaha dan/atau kegiatan.
Penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan wajib memenuhi
permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan setiap pengawas wajib memperlihatkan surat
tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi
tempat pengawasan tersebut.
2.
Pengendalian
Pencemaran Udara
Pengendalian
berarti usaha sistematik untuk mencapai tujuan dengan cara membandingkan proses
dengan rencana yang selanjutnya mengambil tindakan tepat untuk mengoreksi
perbedaan yang timbul. Dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara pasal 2 bahwa pengendalian
pencemaran udara meliputi pengendalian dan usaha dan/atau kegiatan sumber
bergerak, sumber bergerak spesifik dan sumber tidak bergerak spesifik yang
dilakukan dengan upaya pengendalian emisi dan/atau sumber gangguan yang
bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.
Menurut
Anwar (67:2005) menjelaskan bahwa, pengendalian pencemaran udara adalah suatu
upaya dengan mengurangi polutan-polutan dengan alat alat-alat pengubah polutan,
mulai dari melarutkan dan mendispersikan polutan yang ada. Lebih lanjut
dijelaskan Anwar (69:2005) bahwa ada beberapa metode pengendalian khususnya
dalam pengendalian pencemaran udara, sebagai berikut:
1. Upaya
pencegahan, sebelum terjadi pencemaran udara sebaiknya dilakukan pencegahan
untuk menghindari terjadinya polutan-polutan di udara, dapat diupayakan dengan
pemakaian jenis BBM yang ramah lingkungan dan perawatan kendaraan;
2. Upaya
Penanggulangan pada program ini masyarakat diajak untuk meningkatan kesadaran
dan kepedulian terhadap pengendalian pencemaran Lingkungan Hidup; dan
3. Upaya
pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambient.
Upaya
pengendalian pada program ini, masyarakat diajak untuk meningkatan kesadaran
dan kepedulian terhadap pengendalian pencemaran lingkungan hidup, adapun
beberapa solusi dalam mengatasi masalah ini dan termasuk dalam program ini
adalah sebagai berikut:
a. Penggunaan
BBM (Bahan Bakar Minyak), berupa penggunaan bensin diganti ke biofuel (bahan bakar gas), atau bahan
bakar Pertamax yang kandungan zat emisi bahayanya sangat kecil;
b. Menjual
mobil yang lama dan mengganti yang baru minimal 10 tahun, solusi inilah yang
telah diterapkan beberapa negara dan hasil yang dicapai sangat bagus dan
sebaiknya negara Indonesia juga seperti itu;
c. Pemeliharan
tiap 3 bulan sekali, pemeliharaan kendaraan yang teratur sangat bermanfaat agar
kendaran dapat menghasilkan pembakaran bensin yang sempurna dan tidak
menghasilkan timbal; dan
d. Adanya
peraturan tentang hal ini sehingga masyarakat merasa diawasi, serta sanksi yang
diterapkan bagi masyarakat yang tidak menaati peraturan tersebut.
3.
Pengertian Air Laut
Baku mutu air laut
adalah batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen lain yang ada
atau harus ada, dan zat atau bahan pencemar yang ditenggang adanya dalam air
laut. Baku mutu air
pada sumber air, disingkat baku mutu
air, adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan
pencemar terdapat dalam air, namun air tetap berfungsi sesuai dengan
peruntukannya. Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan
bagi zat atau bahan pencemar terdapat di udara, namun tidak menimbulkan
gangguan terhadap makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan atau benda.
Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang
diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar untuk dikeluarkan dari sumber
pencemaran ke udara, sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien. Baku mutu air laut adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi
atau komponen lain yang ada atau harus ada , dan zat atau bahan pencemar yang
ditenggang adanya dalam air laut.
Kriteria bahan pencemar dalam media air untuk kehidupan ikan:
Konsentrasi Pencemar (mg/l)
|
Pengaruh terhadap Ikan
|
0,01
|
Tidak ada pengaruh
|
0,05
|
Ikan menderita dalam taraf
rendah
|
0,1
|
Kematian telah terjadi masih
dalam tingkat rendah
|
0,5
|
Tidak ada yang dapat hidup
|
Tak diragukan lagi, selain terkenal dengan mega biodiversity, tak
diragukan lagi- Indonesia adalah negara kepulauan. Namun, kenyataannya saat ini
produk kerang-kerangan kita sudah ‘diboikot” oleh negara-negara Uni Eropa
karena kita tidak mempunyai program pemanfaatan pencemaran di lokasi
kerang-kerangan tersebut diambil . Padahal, belum lama berselang,
udang-udang kitapun ditolak karena diduga mengandung bahan antibiotika. Dan,
sekarang menyusul kerang. Kondisi ini mencerminkan betapa tingginya kondisi pencemaran
di wilayah pulau Jawa dan Indonesia bagian barat.
Sebagai negara maritim, lautan Indonesia mengandung sumberdaya hayati
laut dan pesisir yang kaya dan paling beragam diantara negara-negara tropika.
Mangrove, terumbu karang, sumberdaya perikanan dan wisata bahari memberikan
sumbangan yang cukup berarti bagi perekonomian negeri ini. Tapi, jumlah
pertumbuhan penduduk yang tinggi disertai makin meningkatnya pencemaran dan
kerusakan habitat fisik yang serius, amat mengancam keberlanjutan
produktivitasnya. Salah satu hal yang paling mendasar adalah upaya
menanggulangi dampak negatif tersebut adalah bagaimana memelihara mutu air laut
yang menjamin berlangsungnya kehidupan biota didalamnya. Dan, hal ini tentu
saja perlu ditentukan kriteria mutu air laut yang melindungi kehidupan biota
akuatik, kesehatan manusia serta penggunaan air laut untuk industri, pariwisata
dan perikanan. Karena bila mutu air laut baik, maka kerusakan habitat dan
populasi biota laut yang tereksploitasi berlebihan akan pulih secara alami asal
ancaman-ancaman dapat dihentikan.
Sebelum melangkah lebih jauh, yang perlu diperhatikan adalah apa yang
disebut mutu air laut dan bagaimana memformulasikannya. Hal ini nampaknya yang
perlu dijawab dalam seminar hari ini. Hal lainnya yang menjadi sorotan
seminar adalah : masalah pencemaran air laut, kriteria mutu air laut, dan
ketiga baku mutu air laut. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
memformulasikannya. Kegiatan ini memang memerlukan dana yang cukup besar.
Data uji Toksisitas saaj sangat langka, terutama untuk biota dari perairan
tropika. Karenanya harus dikembangkan laboratorium-laboratorium uji toksisitas
atau ekotoksikologi.
Laboratorium PUSARPEDAL di Serpong , seharusnya menjadi laboaratorium
rujukan nasional yang membina jaringan dan secara periodik melakukan
interkalibrasi dengan laboratorium-laboratorium yang menjadi simpul-simpul
dalam jaringan nasional. Upaya ini memang memerlukan dana yang cukup besar.
Masalah SDM juga merupakan faktor kunci utnuk merealisasikannya. Apalagi,
perdagangan global nantinya sangat terkait dengan masalah lingkungan.
Dengan kata lain pemerintah saja dengan satu lembaga tidak cukup, namun perlu
dilibatkan pemerintah daerah yang mengelola secara professional. Dan, ini juga
satu hal yang perlu dibahas, mengingat batas-batas perairan laut / sungai
kadang melintasi berbagai dearah. Seperti : sungai Me Khong, Sungai Tigris atau
Rhaine yang melintas antar negara hingga akhirnya dikelola secara bersama antar
negara. Demikian juga kita yang melewati antar pulau atau daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Literatur
Achmad Lufti,
2007, Pencemaran Udara, Grafika, Jakarta
Achmad Luft,2009,
Terjadinya
Pencemaran Udara Dan Penanggulangannya, Bumi Aksara, Jakarta
Affandi
Kusuma, 2009, Lingkungan Hidup Dan pelestariannya, Surabaya
Harjdasoemantri, 2005, Koesnadi,
Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Mukono, H.J, 1997, Pencemaran Udara dan Pengaruhnya
terhadap Pernafasan, Airlangga
Press, Surabaya.
B.
Perundang-Undangan
Republik
Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup pengganti Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 140)
Republik
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara
Republik
Indonesia, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 102)
Republik
Indonesia, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 1996 Tentang Program
Langit biru
Republik
Indonesia, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997 Tentang
Indeks Standar Pencemaran Udara
Republik
Indonesia, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003 Tentang
Ambang Batas Emisi Kendaraan Bermotor tipe baru dan kendaraan bermoptor yang
sedang diproduksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar